Apakah harapan itu masih ada? Pertanyaan ini terus bergema di kepala rakyat yang menyaksikan wajah negeri: politik gaduh, hukum tumpul, kesejahteraan hanya jadi wacana. Di jalan-jalan orang berteriak, di layar ponsel orang bersuara, tapi gedung-gedung megah seakan tak mendengar.
Negeri Raya ini memang sedang tidak baik-baik saja. Tetapi suara rakyat tak boleh padam.
⚜️ Eksekutif: Eksekutor atau Sekadar Pengatur Agenda?
Pemerintah eksekutif mestinya menjadi penggerak utama, eksekutor kebijakan yang menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari. Namun sering kali kebijakan hanya berhenti di atas kertas. Implementasi lamban, komunikasi publik kacau, dan kebijakan yang seharusnya berpihak justru membebani.
Dalam konteks RUU Perampasan Aset, eksekutif seharusnya bisa mendorong agar pembahasan segera dituntaskan—krusial untuk menekan korupsi yang mencekik bangsa ini. Pertanyaannya: apakah mereka masih bekerja untuk rakyat, atau sekadar menjaga citra di panggung kekuasaan?
🏛️ Legislatif: Rakyat Bertanya, DPR Mendengar atau Menutup Telinga?
Kinerja DPR kembali dipertanyakan. Alih-alih membicarakan aspirasi rakyat, sorotan publik justru tertuju pada tunjangan berlebih dan kebijakan yang jauh dari kebutuhan nyata. Dari menari di atas penderitaan rakyat, membedakan wakil dewan dengan rakyat jelata, hingga komentar merendahkan: seolah rakyat dianggap “tolol”.
Sementara itu, RUU Perampasan Aset yang ditunggu-tunggu masih jalan di tempat. Pertanyaan mendasarnya: untuk siapa DPR bekerja, bila suara rakyat terus dipinggirkan?
⚖️ Yudikatif: Keadilan untuk Siapa?
Hukum seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat. Namun keberadaan yudikatif pun kerap dipertanyakan. Isu “tajam ke bawah, tumpul ke atas” belum juga hilang. Kasus korupsi berlarut, suap hakim terkuak, putusan kontroversial terjadi.
Keadilan terasa mahal, bahkan bisa ditawar. Publik pun bertanya: apakah hukum masih tegak, atau sudah condong hanya pada mereka yang berkuasa?
Suara Harapan Itu Masih Ada

Meski kepercayaan publik kerap diuji, harapan itu belum benar-benar padam. Masih ada ruang untuk memperbaiki: menjadikan eksekutif sebagai eksekutor sejati, legislatif sebagai corong rakyat, dan yudikatif sebagai penjaga keadilan tanpa pandang bulu.
Negeri ini butuh keberanian, bukan basa-basi.
Rayantara percaya, bahwa setiap keresahan adalah tanda masih ada cinta pada negeri. Suara ini bukan sekadar kritik, tetapi doa—agar bangsa ini kembali berjalan di jalan yang benar.
Diam tak pernah mengubah apa-apa. Kalau kamu punya ide, kritik, atau cerita, jangan biarkan hilang begitu saja. Publikasikan di Rayantara, biar dunia tahu.
Penulis: Rifat Ardan Sany