Home / Sosial / Merdeka Itu Bernarasi, Bukan Cuma Upacara

Merdeka Itu Bernarasi, Bukan Cuma Upacara

Catatan Menjelang 17 Agustus dari Generasi yang Masih Belajar Merdeka

17 Agustus kembali mendekat. Spanduk merah putih mulai dipasang, lomba-lomba RT dirancang, dan pengeras suara masjid mulai memutar lagu perjuangan dengan semangat nostalgik. Tapi di tengah semua itu, ada satu pertanyaan yang tak pernah benar-benar selesai dijawab: apakah kita sudah merdeka? Dan kalau ya, apa makna merdeka hari ini—bagi kita yang tumbuh di antara krisis, algoritma, dan utang pendidikan?

1. Antara Upacara dan Realita

Setiap tahun, tanggal 17 Agustus diisi dengan upacara—di sekolah, di kampus, di istana negara. Tapi upacara itu tak selalu melahirkan kesadaran. Ia jadi rutinitas, bukan refleksi. Kita berdiri tegap, menyanyikan lagu nasional, tapi sering lupa mengajukan pertanyaan dasar: untuk siapa kemerdekaan itu? Dan siapa yang hari ini belum benar-benar merdeka?

Di luar lapangan upacara, realita bicara lain. Ada mahasiswa yang putus kuliah karena tak sanggup bayar UKT. Ada warga yang tak bisa berobat karena tak punya BPJS. Ada guru honorer yang gajinya masih di bawah upah minimum. Ada UMKM yang bertahan hidup tanpa jaring pengaman. Dan di antara semua itu, kita terus didorong untuk ikut lomba, berpakaian adat, dan bersorak “Dirgahayu”—seakan-akan semuanya baik-baik saja.

2. Merdeka Itu Bernarasi

Kemerdekaan bukan sekadar simbol. Ia adalah proses bernarasi. Menjadi merdeka artinya bisa bicara. Bisa menulis. Bisa mengungkapkan gagasan tanpa takut dibungkam. Merdeka adalah saat seseorang bisa menyampaikan opini, bisa mengkritik dengan nalar, bisa mempublikasikan pikirannya tanpa harus punya nama besar.

Merdeka artinya tidak hanya memiliki ruang, tapi juga keberanian mengisi ruang itu dengan isi kepala dan isi hati.

Dan inilah yang sering luput dalam perayaan: kita sibuk melestarikan ritual, tapi lupa membangun ruang wacana. Kita lupa bahwa suara mahasiswa, pelaku UMKM, guru di desa, dan pemuda di lorong kota, juga bagian dari narasi bangsa.

3. Suara-Suara yang Tak Terliput

Di era digital, ironisnya, banyak yang justru makin bisu. Platform besar hanya memberi panggung bagi yang sudah viral. Media arus utama lebih tertarik mengejar trafik daripada memberi tempat bagi suara marjinal. Lalu ke mana kita harus bicara? Di mana kita bisa menulis dengan utuh, bukan sekadar caption singkat?

Inilah sebabnya mengapa media akar rumput seperti Rayantara penting. Karena merdeka itu juga berarti punya tempat untuk menulis tanpa sensor, untuk berpikir tanpa batasan iklan, untuk bernarasi tanpa harus jadi selebritas.

Penutup / Refleksi

Merdeka itu bukan seragam. Bukan lomba makan kerupuk. Bukan hormat bendera. Semua itu hanya bentuk luar. Esensi kemerdekaan adalah kesadaran — bahwa kita punya hak untuk bicara, berpikir, dan membangun gagasan bersama. Dan bahwa bangsa ini belum selesai jika suara rakyatnya masih dibungkam oleh struktur, sistem, atau bahkan rasa takut.

Jelang 17 Agustus ini, mari kita rayakan dengan satu hal yang sederhana tapi bermakna: menulis. Suaramu adalah bagian dari kemerdekaan itu sendiri.

Ajakan Publikasi

Jika kamu punya opini tentang Indonesia hari ini, keresahan tentang pendidikan, refleksi tentang hidup di kampus atau kampung, kirimkan tulisanmu ke Rayantara.
Karena merdeka itu bukan cuma dirayakan—tapi diceritakan, dituliskan, dan disebarkan.

Klik di sini!

Penulis: Rifat Ardan Sany

Sumber gambar: Freepik.com

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *