Home / Opini / Mengapa Mahasiswa Butuh Media Publikasi Sendiri?

Mengapa Mahasiswa Butuh Media Publikasi Sendiri?

Di balik dinding kampus yang dipenuhi poster seminar, catatan kuliah, dan skripsi yang menumpuk, ada keresahan yang jarang terdengar. Mahasiswa Indonesia hari ini bukan hanya pembelajar pasif, tapi juga penggagas, pencipta, dan pemikir muda yang haus ruang. Namun sayangnya, ruang itu sering tak cukup luas — atau tak cukup terbuka.

Media besar terlalu jauh. Jurnal ilmiah terlalu ketat. Sosial media terlalu bising. Maka, lahirlah satu pertanyaan sederhana namun dalam: “Mengapa mahasiswa tidak punya media publikasi sendiri?”

Bukan Soal Eksistensi, Tapi Ekspresi

Mahasiswa menulis bukan sekadar untuk nilai. Mereka menulis untuk memahami dunia dan menandai zamannya. Dari esai yang mengkritik kebijakan kampus, cerita pendek yang menyentil realita sosial, hingga riset kecil yang diam-diam menyimpan solusi besar — semua itu layak mendapat tempat untuk tumbuh dan diakses publik.

Tapi kenyataannya? Banyak karya mahasiswa hanya berakhir sebagai arsip tugas akhir, tersimpan dalam folder laptop atau lemari dosen, tak pernah menyentuh ruang publik.

Ruang Aman yang Terjangkau

Media publikasi mahasiswa bukan sekadar platform digital — ia adalah ruang aman untuk gagal, berkembang, dan berdialog. Tempat di mana mahasiswa bisa menyuarakan tanpa takut ditertawakan. Di mana tulisan tidak harus sempurna, tapi jujur. Di mana opini bukan dilabeli “belum matang”, tapi dianggap sebagai starting point menuju diskusi yang lebih besar.

Media ini juga membuka akses ke publikasi yang terjangkau. Tak semua bisa bayar jutaan rupiah untuk masuk jurnal terakreditasi. Tapi semua berhak menyuarakan pikirannya.

Membangun Portofolio, Menyusun Reputasi

Di era digital, portofolio adalah mata uang baru. Media publikasi mahasiswa dapat menjadi tempat membangun jejak pemikiran, menandai identitas intelektual. Entah ia ingin jadi dosen, aktivis, penulis, pengusaha, atau birokrat — publikasi adalah tapak awal menuju kredibilitas.

Menjadi Jembatan: Kampus, Masyarakat, dan Masa Depan

Mahasiswa hidup di antara dua dunia: dunia akademik dan dunia nyata. Media publikasi mahasiswa bisa menjadi jembatan. Tempat mereka menerjemahkan teori ke praktik, menyambungkan kampus ke masyarakat, dan menyuarakan mimpi generasi muda kepada pemangku kebijakan.

Ketika mahasiswa bicara lewat media sendiri, mereka tak hanya mencatat sejarah — mereka menulis ulang arah masa depan.


Penutup: Rayantara dan Jalan Sunyi Itu

Rayantara hadir sebagai jawaban atas keresahan itu. Bukan untuk menyaingi media besar, tapi mengisi celah yang terlalu lama dibiarkan kosong. Ia bukan hanya platform, tapi gerakan. Sebuah seruan lembut namun tegas: bahwa suara mahasiswa bukan hanya pantas didengar, tapi harus diberi panggung.

Karena pada akhirnya, siapa lagi yang akan mengisahkan zaman, jika bukan mereka yang hidup di dalamnya?

Kalau kamu punya kegiatan PKM dan riset yang ingin dibaca semua orang, keresahan tentang pendidikan, ide soal teknologi, pandangan tentang UMKM, atau refleksi tentang kehidupan di Indonesia—jangan hanya simpan dalam draft. Publikasikan di Rayantara. Suaramu layak dibaca lebih banyak orang.

✉️ Kirim tulisanmu sekarang melalui website rayantara.com dan jadilah bagian dari narasi bangsa.

Penulis: Rifat Ardan Sany

Sumber gambar: Freepik.com

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *