Demo atau unjuk rasa adalah salah satu bentuk demokrasi paling nyata. Orang turun ke jalan karena merasa ada hal yang harus disuarakan. Tapi seringkali, ketika berita demo muncul, yang pertama kita lihat adalah gambar kericuhan: gas air mata, massa berlarian, atau aparat berhadapan dengan demonstran.
Akibatnya? Banyak orang langsung menilai demo itu negatif, ribut, atau bahkan “cuma bikin macet”. Padahal, tidak sesederhana itu. Di sinilah berpikir kritis jadi penting: agar kita tidak hanya menelan mentah-mentah apa yang terlihat di permukaan.
Kenapa Demo Jadi Rentan Disalahpahami?
- Media menyorot sisi paling dramatis
Media sering menampilkan potongan kerusuhan, bukan isi aspirasi. Alhasil, publik lebih fokus ke “rusuhnya” daripada “kenapa orang turun ke jalan”. - Emosi lebih dominan daripada analisis
Wajar, karena suasana demo itu panas. Tapi kalau semua pihak bereaksi pakai emosi, hasilnya bisa chaos, bukan dialog. - Provokator atau penyusup
Tidak jarang kerusuhan justru dipicu oleh oknum yang bukan bagian dari demonstran. Mereka sengaja bikin ricuh supaya citra demo buruk.
Berpikir Kritis: Biar Nggak Asal Menyalahkan
Kalau kita pakai kacamata kritis, demo bukan sekadar ribut-ribut. Ada hal yang lebih dalam:
- Apa tuntutan mereka? Sudahkah kita baca dan pahami?
- Kenapa sampai turun ke jalan? Apakah jalur dialog formal buntu?
- Siapa sebenarnya yang bikin ricuh? Apakah massa asli, atau ada pihak ketiga yang menunggangi?
Berpikir kritis membantu kita memisahkan substansi dari distraksi. Dengan begitu, kita bisa menilai secara adil, bukan asal menyalahkan demonstran atau aparat.
Demo = Ujian Berpikir Kritis Kolektif
- Untuk masyarakat: Jangan langsung percaya narasi tunggal. Cari berbagai sumber berita, dengarkan langsung suara mahasiswa, buruh, atau kelompok yang demo.
- Untuk aparat: Tugasnya menjaga keamanan, bukan melampiaskan emosi. Kalau berpikir kritis, aparat bisa bedakan mana massa yang damai, mana provokator.
- Untuk demonstran: Penting juga berpikir kritis agar aksi tetap fokus pada tujuan, bukan terjebak provokasi.
Kalau semua pihak bisa lebih kritis, demo nggak harus berakhir ricuh, tapi bisa jadi jalan dialog.
Penutup: Krisis Bisa Jadi Titik Balik
Demo memang sering disebut “krisis sosial kecil”. Tapi krisis bukan berarti harus selalu chaos. Dengan berpikir kritis, masyarakat bisa lebih bijak menilai, aparat bisa lebih terukur bertindak, dan demonstran bisa lebih efektif menyuarakan aspirasi.
Karena pada akhirnya, demo bukan soal siapa yang salah, tapi soal suara yang ingin didengar. Dan suara itu layak kita pahami, bukan kita padamkan dengan emosi.
✨ Punya Suara atau Tulisan Tentang Isu Sosial?
Rayantara membuka ruang buat kamu yang ingin menulis tentang keresahan sosial, opini, atau refleksi kritismu.
👉 Klik di sini untuk publikasi tulisanmu
Penulis : Muhammad Nur Imam