Home / Sosial / Guru di Tengah Era AI: Antara Algoritma dan Adab

Guru di Tengah Era AI: Antara Algoritma dan Adab

Di tengah derasnya arus teknologi, kecerdasan buatan (AI) mulai merambah ruang-ruang kelas. Dari platform pembelajaran adaptif, asisten virtual, hingga aplikasi pengoreksi otomatis—semuanya hadir membawa janji percepatan belajar. Namun di balik kilau inovasi itu, muncul pertanyaan yang kerap menggelisahkan: apakah guru masih relevan di era mesin pintar?

Sebagai seseorang yang pernah mengajar di sekolah selama empat tahun, saya tahu jawabannya. Guru tidak pernah sekadar mengajar. Tugasnya jauh melampaui papan tulis, silabus, dan ujian akhir. Guru adalah pendidik—membentuk IQ (kognitif), EQ (emosi), AQ (daya juang), SQ (spiritual), dan adab. Lima hal yang, sekuat apa pun kode program AI, tidak bisa sepenuhnya ia tiru.

Sumber gambar: Freepik.com

Sayangnya, realitas sosial dan ekonomi kerap tidak seindah idealismenya. Guru memikul beban berat: mengajar, mengurus administrasi, membimbing kegiatan siswa, sekaligus menjadi teladan. Namun penghargaan terhadap profesi ini sering kali tereduksi. Kesejahteraan masih jauh dari kata layak, meski yang mereka didik adalah aset bangsa.

AI sebenarnya bukan lawan. Ia bisa menjadi mitra—membantu meringankan pekerjaan administratif, memberi akses sumber belajar yang luas, bahkan mempersonalisasi pembelajaran. Namun, AI hanyalah alat. Nilai-nilai yang lahir dari tatap muka, empati, dan keteladanan hanya bisa hadir dari guru.

Masa depan pendidikan tidak seharusnya mempertentangkan guru dan teknologi. Keduanya bisa berjalan beriringan, jika ada kebijakan yang menempatkan guru sebagai pusat inovasi. Pelatihan teknologi yang memadai, kesejahteraan yang meningkat, dan penghormatan terhadap martabat guru adalah fondasi yang harus diperkuat.

Karena pada akhirnya, teknologi dapat mencetak lulusan yang cerdas, tetapi hanya guru yang dapat membentuk manusia seutuhnya. Dan di tengah era AI ini, guru tetaplah arsitek peradaban—penjaga agar generasi berikutnya tidak hanya cakap secara digital, tetapi juga beradab menjadi manusia.


💬 Punya pandangan tentang peran guru, teknologi, dan masa depan pendidikan?
Kirimkan opini, cerita, atau refleksimu ke Rayantara.
Mari kita tuliskan narasi pendidikan Indonesia dari suara yang benar-benar mengalaminya.

Klik di sini!

Penulis: Rifat Ardan Sany

Sumber gambar: Freepik.com

Tag:

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *