Pernahkah kamu melihat seorang anak Gen Z yang tampak menghabiskan setengah harinya hanya untuk rebahan sambil memainkan media sosial?
Sekilas, pemandangan ini membuat kita bertanya-tanya: apakah mereka benar-benar malas, atau hanya terlihat demikian?
pertanyaannya, apakah ketika mereka bekerja di tempat yang mereka sukai, mereka justru bisa lebih fokus dan mencapai kesuksesan?
Apa yang Membuat Gen Z Sering Dianggap Malas-Malasan?
Pernahkah kamu melihat anak Gen Z yang seharian rebahan sambil scroll media sosial, lalu langsung menilainya malas? Tapi… benarkah mereka benar-benar malas, atau hanya terlihat begitu?
Fakta menariknya, di balik stigma itu tersimpan cara baru dalam memaknai produktivitas. Bahkan, sebuah artikel Gen Z Work Ethic: Lazy or Just Setting Boundaries? menegaskan bahwa Gen Z justru lebih kritis dalam memilih pekerjaan yang relevan dan efisien (Rezi, 2023),
Lima alasan berikut akan membuka sisi lain yang jarang disadari.
1. Teknologi Membuat Segalanya Instan
Generasi Z lahir di era digital yang serba instan. Hanya dengan satu sentuhan layar, mereka dapat memesan makanan, mencari transportasi, hingga mengakses informasi dari seluruh dunia. Kemudahan ini memang membuat hidup terasa lebih praktis, tetapi juga memunculkan anggapan: apakah mereka menjadi generasi yang malas? Pertanyaan lain pun muncul: benarkah pola serba instan membuat Gen Z enggan berusaha keras, atau justru melahirkan cara baru dalam memahami efisiensi dan produktivitas?
Sejalan dengan itu, Anessa Fike, seorang pakar HR, menegaskan bahwa Gen Z lebih menghargai hasil (outcomes) daripada lamanya waktu kerja, menggeser fokus dari rutinitas jam kerja ke produktivitas yang fleksibel dan efisien
2. Fokus pada Dunia Digital
Banyak Gen Z menghabiskan waktunya di media sosial, layanan streaming, atau bermain game daring. Aktivitas ini kerap dianggap sebagai tanda kemalasan oleh generasi sebelumnya. Namun, kenyataannya mereka justru aktif secara digital: membangun jejaring sosial, mengakses hiburan, mempelajari hal baru, hingga melatih keterampilan.
Dengan demikian, apa yang tampak pasif sebenarnya merupakan bentuk adaptasi terhadap dinamika era digital. Produktivitas tidak lagi semata diukur dari kerja fisik, tetapi juga dari partisipasi, kreativitas, dan kontribusi dalam ruang virtual. Sejalan dengan artikel Gen Z Work Ethic: Lazy or Just Setting Boundaries? (Rezi, 2023), Gen Z bukanlah generasi malas. Mereka hanya menolak pekerjaan yang dinilai tidak masuk akal atau tidak memberi nilai tambah, serta lebih memilih jalur yang efisien dan relevan dengan kebutuhan zaman
3. Cara Kerja yang Berbeda dengan Generasi Sebelumnya
Gen Z tidak selalu tertarik pada pekerjaan fisik atau monoton. Mereka lebih memilih pekerjaan yang fleksibel, kreatif, dan sesuai dengan passion. Hal ini sejalan dengan terbukanya peluang kerja berbasis inovasi di era digital.
Namun, ketika belum menemukan ruang kerja yang sesuai dengan nilai dan aspirasi, mereka sering ditafsirkan sebagai malas. Padahal, ini lebih tepat dipahami sebagai proses pencarian identitas profesional.
Sejalan dengan itu, sebuah artikel di Forbes menyatakan bahwa Gen Z bukanlah generasi malas melainkan generasi yang dihargai ketika manajemen bekerja dengan benar. Mereka sangat menghargai fleksibilitas, keseimbangan hidup, dan hak untuk mengambil hari istirahat demi kesehatan mental (mental health days).
4. Tekanan Psikologis dan Kesehatan Mental
Banyak Gen Z menghadapi stres, kecemasan, bahkan burnout pada usia muda. Tekanan ini berasal dari akademik, pekerjaan, ekspektasi sosial, hingga paparan media digital. Akibatnya, mereka kerap dianggap kurang produktif.
Namun, kenyataannya mereka sedang berjuang dengan dinamika emosional yang kompleks. Dukungan lingkungan sangat penting agar mereka bisa kembali menampilkan potensi terbaik.
Menurut artikel dari The Standard, label “malas” yang dialamatkan kepada Gen Z muncul bukan karena mereka benar-benar tidak produktif, melainkan karena meningkatnya efisiensi hidup berkat teknologi yang membuat banyak aktivitas tampak lebih ringkas dan cepat
5. Gaya Hidup “Santai” yang Disalahartikan
Bagi Gen Z, rebahan sambil menggunakan gawai sering dimaknai sebagai bentuk mental reset atau pemulihan energi. Pola ini justru adaptif dalam menghadapi tekanan informasi yang serba cepat.
Namun, generasi sebelumnya sering menafsirkan hal ini sebagai kemalasan karena tidak sesuai dengan paradigma kerja konvensional. Perbedaan sudut pandang inilah yang memicu kesalahpahaman.
Menurut profesor Oxford, Katrien Devolder, apa yang tampak seperti kemalasan sebenarnya adalah bentuk justified effort management. Istirahat karena burnout bukanlah malas, melainkan bagian dari etika kerja yang lebih sehat.
Kesimpulan

Mungkin selama ini kita terlalu cepat memberi label “malas” pada Gen Z, padahal mereka sedang membangun etika kerja baru yang lebih sehat. Pertanyaannya, beranikah kita generasi sebelumnya untuk belajar dari mereka? Belajar bagaimana bekerja secukupnya, beristirahat seperlunya, dan tetap menjaga kewarasan di tengah dunia yang makin cepat?
Bagi Gen Z, produktivitas tidak diukur dari lamanya jam kerja, tetapi dari hasil, efisiensi, dan keseimbangan hidup. Oleh karena itu, alih-alih melabeli mereka sebagai malas, lebih bijak memahami bahwa Gen Z sedang membangun etika kerja baru yang menekankan fleksibilitas, kreativitas, dan keberlanjutan kesehatan mental.
Stigma “malas” pada Gen Z lebih tepat dipahami sebagai perbedaan cara pandang terhadap produktivitas. Dari mereka, kita dapat belajar pentingnya efisiensi, fleksibilitas, dan keseimbangan hidup, tanpa mengabaikan risiko distraksi digital dan budaya serba instan yang perlu diwaspadai
Ajakan untuk Menyuarakan
Gen Z mengajarkan kita arti baru tentang produktivitas: bukan sekadar kerja panjang, tapi kerja yang bermakna.
Setiap narasi yang dituliskan adalah bagian dari percakapan panjang bangsa, dan saya percaya suara seperti inilah yang membuat ruang publik tetap hidup. Setiap tulisan selalu punya cara unik untuk bicara.
Kalau kamu juga punya cerita, opini, atau keresahan kecil sekalipun—Rayantara siap jadi rumahnya.
Penulis: Samuel Mirin
Sumber gambar: Freepik.com