Fenomena film bertema pelakor kembali mengguncang dunia hiburan Indonesia. Serial seperti Ipar Adalah Maut dan La Tahzan jadi trending, memancing emosi penonton sekaligus debat publik. Ada yang menonton dengan antusias, ada pula yang mencibir, namun satu hal jelas: drama perselingkuhan selalu punya magnet kuat di masyarakat.
Tapi pertanyaannya, kenapa kita begitu betah menonton drama yang menyakitkan?
Antara Hiburan dan Realitas
Film pelakor pada dasarnya adalah hiburan. Intrik rumah tangga, air mata, pengkhianatan—semua dibalut dengan narasi dramatis yang menguras emosi.
Namun, tema ini terasa sangat dekat dengan kenyataan. Perselingkuhan bukan sekadar kisah fiksi, melainkan pengalaman nyata yang dialami banyak orang di sekitar kita. Dengan menontonnya, publik seperti menemukan ruang katarsis—melepaskan emosi yang tak pernah terucap, atau sekadar melihat drama orang lain untuk melupakan luka sendiri.
Pelakor Sebagai Simbol Sosial

Istilah “pelakor” (perebut laki orang) sudah lama jadi bahan pembicaraan. Dalam film, sosok ini tampil sebagai pengacau rumah tangga, perusak harmoni, bahkan sumber malapetaka.
Namun menariknya, masyarakat lebih sering melempar kesalahan kepada perempuan (si “pelakor”), sementara pihak laki-laki yang juga bersalah kerap lolos dari kritik. Fenomena ini menunjukkan bias sosial kita: perempuan sering jadi kambing hitam, sementara dominasi laki-laki tetap dilanggengkan.
Dengan kata lain, film pelakor bukan hanya tontonan, tapi juga cermin relasi gender dan nilai sosial di masyarakat kita.
Antara Empati dan Eksploitasi
Pertanyaan penting muncul: apakah film pelakor mendidik atau justru mengeksploitasi luka sosial?
Bagi sebagian orang, film ini membuka ruang empati—mengingatkan pentingnya komunikasi dan komitmen dalam rumah tangga. Namun bagi yang lain, film ini bisa jadi pemantik trauma, karena menghadirkan kembali luka lama yang belum sembuh.
Bagaimanapun, industri hiburan memang menjual emosi. Semakin rumit konfliknya, semakin deras air mata penonton, semakin tinggi pula rating dan engagement.
Bagaimana Kita Menyikapinya?
Film pelakor tak bisa dihindari, tapi bisa disikapi dengan lebih bijak.
- Jadilah penonton reflektif, bukan hanya pasif.
- Belajar dari cerita: bahwa kejujuran, komitmen, dan komunikasi adalah fondasi hubungan.
- Jangan menormalisasi perselingkuhan sebagai hiburan belaka, tetapi lihatlah pesan moral di baliknya.
Dengan begitu, kita tak sekadar larut dalam drama, tapi juga bisa menarik pelajaran hidup darinya.
Penutup: Cermin Kehidupan
Film pelakor seperti Ipar Adalah Maut dan La Tahzan adalah cermin sosial. Mereka mungkin penuh air mata dan amarah, tapi juga mengingatkan kita tentang rapuhnya kepercayaan dan pentingnya menjaga komitmen.
Akhirnya, menonton film pelakor bukan sekadar hiburan. Ia adalah undangan untuk merenung: tentang hubungan yang kita jalani, tentang godaan yang bisa datang kapan saja, dan tentang bagaimana kita menjaga nilai keluarga di tengah zaman yang serba cepat.
Kalau kamu punya refleksi tentang film, fenomena sosial, atau bahkan pengalaman pribadi yang ingin dijadikan narasi, tuliskanlah. Kirimkan ke Rayantara, karena setiap cerita punya nilai untuk didengar.
Penulis: Rifat Ardan Sany