Pernah melihat cara sepasang suami istri mengatur keuangan keluarga?
Yang satu hati-hati, penuh catatan, bahkan menghitung uang receh kembalian.
Yang satu lagi berani — siap ambil risiko, investasi sana-sini, percaya rezeki akan datang selama berusaha.
Begitulah kira-kira gambaran dua wajah ekonomi Indonesia: Sri Mulyani Indrawati dan Purbaya Yudhi Sadewa.
Sri Mulyani: Sang Penjaga Dompet

Sri Mulyani seperti seorang ibu yang tahu betul betapa gentingnya menjaga uang belanja sampai akhir bulan.
Setiap pengeluaran harus dicatat, setiap program harus efisien, jangan sampai ada yang jebol karena satu keputusan impulsif.
Ia paham bahwa dunia luar sedang tak pasti — suku bunga, harga minyak, geopolitik.
Maka yang harus dijaga bukan hanya isi dompet, tapi juga kepercayaan tetangga (alias investor global).
Namun, di balik sikap hemat dan tertib itu, ada banyak anak di rumah (rakyat kecil) yang mulai merasa lapar.
Bantuan dikurangi, subsidi disesuaikan, dan harga kebutuhan terus naik.
Kebijakan hemat kadang membuat rumah ini terasa terlalu sunyi, tanpa gairah untuk berkembang.
Purbaya: Si Pengambil Risiko

Berbeda dengan Purbaya — ia seperti sosok ayah yang lebih berani.
Ia tahu uang di dompet tidak banyak, tapi tetap yakin, “kalau gak dicoba, kita gak akan maju.”
Maka sebagian uang belanja itu diputar — buat buka warung kecil, beli alat pertanian, bantu tetangga supaya kerja.
Baginya, ekonomi bukan hanya menjaga angka tetap aman, tapi memastikan setiap orang bisa hidup dan bergerak.
Pendekatannya kadang bikin deg-degan.
Uang bisa saja habis, hasil tak selalu langsung terlihat.
Tapi setidaknya, rumah ini hidup — ada gerak, ada harapan.
Dua Pendekatan, Satu Rumah Bernama Indonesia
Lucunya, di negeri ini kita butuh keduanya.
Kalau semua serba hati-hati, kita stagnan.
Kalau semua serba nekat, kita bisa runtuh.
Negara, seperti rumah tangga, tak bisa hanya bergantung pada kalkulator atau intuisi — ia butuh keseimbangan.
Tapi persoalannya bukan sekadar siapa yang benar.
Pertanyaannya: apakah ekonomi yang kita jalankan hari ini membuat rakyat merasa aman, atau justru hanya membuat grafik terlihat rapi?
Refleksi
Mungkin Indonesia memang sedang mencari figur di antara keduanya.
Seseorang yang bisa mengelola ekonomi dengan disiplin, tapi juga berani membuka peluang.
Seseorang yang paham angka, tapi juga mengerti rasa.
Karena ekonomi bukan sekadar soal tumbuh, tapi juga tentang siapa yang benar-benar tumbuh bersama.
Rayantara percaya bahwa arah ekonomi Indonesia harus selalu diuji dengan empati. Bukan hanya berapa besar APBN terserap, tapi berapa banyak rakyat yang terselamatkan.
Kalau kamu punya pandangan lain soal cara mengelola negeri ini — hati-hati seperti ibu, atau berani seperti ayah, tulis pendapatmu, kirim ke Rayantara, dan mari kita bicara tentang rumah besar bernama Indonesia.
Klik di sini!
Penulis: Enzi Arias
Sumber foto: kemenkeu.go.id