Kenapa rakyat harus turun ke jalan? Kenapa mahasiswa rela berpanas-panasan, berdesakan, bahkan kadang berhadapan dengan gas air mata? Pertanyaan itu sederhana, tapi jawaban yang jujur seringkali ditutupi oleh retorika negara: katanya demi “mengganggu ketertiban”, katanya karena “provokasi”. Padahal, kalau kita mau lebih jernih, demonstrasi itu bukan penyebab masalah. Demonstrasi adalah akibat.
Akibat dari telinga yang tuli.
Akibat dari meja diskusi yang hanya formalitas.
Akibat dari kebijakan yang dibuat tanpa rasa, tanpa melihat rakyat yang sehari-hari harus berjuang.
Demonstrasi Lahir dari Jalan Buntu

Orang tidak akan repot-repot berteriak di jalan kalau pintu aspirasi terbuka. Mahasiswa tidak akan mengosongkan kelas untuk aksi jika ruang kelas demokrasi di dalam parlemen masih hidup. Rakyat kecil tidak akan meninggalkan lapaknya kalau kebijakan yang keluar dari gedung-gedung tinggi itu adil dan berpihak pada mereka.
Demo itu bukan pilihan pertama. Ia lahir karena semua saluran lain mampet. Karena suara rakyat sering berhenti di pagar DPR, tenggelam di ruang rapat, atau diputarbalikkan di media resmi.
Maka ketika orang-orang turun ke jalan, itu artinya ada yang gagal di hulu. Ada yang salah urus. Dan kalau pemerintah hanya melihatnya sebagai “huru-hara”, maka ia sudah buta terhadap akar masalah.
Pemerintah yang Sering Lupa

Pemerintah suka framing demo sebagai “kekacauan”. Polisi disiapkan seakan rakyat musuh. Kata-kata seperti “mengganggu stabilitas” atau “menghambat pembangunan” dilontarkan untuk mengaburkan fakta: bahwa stabilitas yang mereka maksud hanya milik segelintir elite, bukan rakyat luas.
Padahal, demonstrasi justru alarm sosial. Ia tanda bahwa ada jurang menganga antara kebijakan dan realitas. Alarm itu tidak pernah berbunyi kalau mesin pemerintah bekerja dengan baik. Jika alarm dipaksa dibungkam dengan pentungan dan gas air mata, masalah tetap ada. Ia hanya menunggu waktu untuk meledak lebih besar.
Dari Jalan ke Meja Diskusi
Apa sebenarnya yang diminta para demonstran? Bukan kekacauan, bukan balas dendam. Mereka menuntut ruang dengar. Ruang di mana suara mereka diakui, bukan diperlakukan sebagai gangguan.
Demonstrasi harusnya menjadi pintu pembuka untuk dialog, bukan alasan memperkeras represi. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: aparat makin tebal, gas makin banyak, tapi ruang diskusi tetap tipis.
Kalau saja pemerintah berani duduk, mendengar, dan merespon dengan jujur — mungkin jalanan tidak perlu seramai itu.
Penutup
Demonstrasi adalah cermin. Cermin yang memantulkan wajah bangsa ini apa adanya: ada luka, ada marah, ada kekecewaan. Kalau cermin itu retak, bukan berarti wajah kita membaik. Justru ada luka yang lebih dalam.
Maka jangan buru-buru menyalahkan demonstran. Lihatlah kenapa mereka sampai harus berteriak. Lihatlah apa yang membuat mereka rela dipukul, diburu, bahkan ditangkap.
Demonstrasi bukan penyebab. Ia akibat. Dan jika pemerintah ingin wajah bangsa ini lebih baik, jangan pecahkan cermin itu. Perbaikilah luka di baliknya.
Rayantara percaya, setiap suara di jalanan adalah potongan cerita bangsa. Jika kamu punya gagasan, keresahan, atau refleksi — mari tuliskan bersama kami. Sebab perubahan tidak hanya lahir dari teriakan di jalan, tapi juga dari kata-kata yang berani.
Penulis: Rifat Ardan Sany
sumber gambar: kompasiana.com