Selama ini, setiap kali membicarakan masalah pendidikan di Indonesia, sorotan utama hampir selalu jatuh pada gaji guru yang tidak layak, minimnya fasilitas sekolah, atau buruknya akses transportasi. Namun, ada pandangan lain yang jauh lebih fundamental: akar kerusakan sistem pendidikan bukan pada insentif atau fasilitas, melainkan pada sistem ujian, tes, atau assessment.
Ujian sebagai QC yang Salah Arah
Cania Citta, melalui kanal Malaka Project, mengibaratkan ujian seperti proses Quality Control (QC) pada produksi obat. Jika QC hanya memeriksa rasa manis atau warna, bukan efektivitas obat menyembuhkan batuk, maka meski dana triliunan digelontorkan, hasil akhirnya tetap obat yang tak berfungsi.
Begitu juga dengan ujian dalam pendidikan. Jika ujian salah sasaran, ia tidak hanya menghasilkan lulusan yang salah kaprah, tetapi juga menilai performa guru dan sekolah secara keliru. Maka, sebelum bicara soal gaji atau fasilitas, yang paling mendesak dibenahi adalah standar ujian itu sendiri.
Kasus Tes Literasi: Krisis dalam Sistem
Contoh nyata terlihat pada Tes Literasi Bahasa Indonesia (LBI) untuk masuk perguruan tinggi. Secara konsep, tes literasi seharusnya menguji kemampuan memahami, menalar, dan menarik kesimpulan dari teks.

Sumber : Menelusuri sumber kerusakan pendidikan
Namun, di lapangan banyak soal justru menguji pengetahuan kimia atau biologi. Misalnya, dari teks tentang susu, soal yang muncul adalah: “Senyawa karbohidrat dalam susu sapi murni adalah…”. Untuk menjawab, peserta harus hafal pengetahuan sains, bukan sekadar mengolah informasi dari teks.
Artinya, yang diuji bukan literasi, melainkan pengetahuan eksternal. Akibatnya:
- Tidak adil bagi siswa SMK yang mungkin tak belajar sains sedalam SMA.
- Guru literasi pun terbebani karena harus menguasai materi di luar domainnya.
- Output pendidikan jadi rusak, karena nilai tinggi belum tentu menunjukkan kemampuan literasi yang sesungguhnya.
Implikasi: Rusaknya Pondasi Pendidikan
Tes yang salah kaprah ini menciptakan ketidakadilan sistemik. Banyak anak cerdas tersingkir bukan karena kurang literasi, tapi karena sistem ujian tidak adil. Sementara itu, guru juga dinilai dengan standar yang tak relevan.
Padahal, contoh tes literasi yang benar masih bisa memakai konteks sains, tapi soal harus bisa dijawab murni dari teks, tanpa pengetahuan tambahan. Itulah bedanya mengukur penalaran versus hafalan.
Saatnya Pemerintah Berbenah
Persoalan ujian yang keliru ini bukan isu kecil. Ia menyangkut masa depan generasi Indonesia. Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, punya PR besar: mereformasi sistem assessment.
Membenahi ujian berarti membenahi pondasi pendidikan. Tanpa itu, perbaikan gaji, kurikulum, atau fasilitas hanya akan jadi kosmetik. Kita hanya akan terus memproduksi “obat manis” yang tak menyembuhkan.
✨ Ingin ikut menyuarakan gagasan penting untuk masa depan pendidikan?
Kirim tulisanmu ke rayantara.com dengan klik di sini.
Baca juga artikel lainnya hanya di rayantara
Penulis : Muhammad Nur Imam