Catatan Gelap dari Ruang Guru
Ada yang aneh dengan profesi yang katanya mulia ini. Guru, di depan kelas sibuk mengajarkan etika, sopan santun, nilai kemanusiaan. Tapi di ruang guru, tak jarang yang kita temui adalah drama yang sama menyebalkannya dengan sinetron sore hari: bisik-bisik, sirkel-sirkelan, bahkan bully terhadap sesama guru.
Ironi, bukan? Yang seharusnya mengayomi malah menjatuhkan. Guru senior yang semestinya menuntun, kadang justru jadi “predator sosial” bagi guru baru. Dari ejekan halus tentang gaya mengajar, komentar nyinyir soal penampilan, sampai permainan klik-klikan yang membuat ruang guru lebih mirip kantin geng SMA daripada tempat profesional.
Mendidik di kelas, melukai di kantor.
Kita sering lupa, guru juga manusia. Tapi masalahnya, manusia yang berprofesi sebagai guru punya “panggung moral” di depan murid. Saat di panggung itu ia tampil sebagai pengajar nilai, di belakang layar ia bisa jadi pemeran antagonis yang licik. Apa jadinya bila murid tahu gurunya pun tak bisa lolos dari dosa-dosa kecil bernama geng, sindir-sindiran, dan senioritas yang basi?
Sirkel bukan salah, tapi mematikan
Punya lingkaran pertemanan itu wajar, tapi menjadikannya tembok penghalang untuk mengasingkan rekan kerja—itu penyakit. Sirkel-sirkelan di kalangan guru seringkali lebih kejam dari bullying antar murid. Kenapa? Karena dilakukan dengan rapi, penuh senyum, tapi menyisakan luka sunyi.
Guru baru, jadi bulan-bulanan
Banyak yang tidak betah lama-lama di sekolah bukan karena muridnya nakal, tapi karena koleganya yang lebih bengis. Bayangkan, datang dengan semangat ingin mengabdi, malah disambut ejekan halus: “Ah, gaya ngajarnya kayak anak kuliahan,” atau “Nanti juga ngerti kalau sudah lama di sini.” Kedengarannya ringan, tapi efeknya bisa menghancurkan rasa percaya diri.
Guru lupa kalau mereka juga mendidik guru
Pendidikan seharusnya tidak berhenti di ruang kelas. Sesama guru pun saling mendidik, saling membesarkan. Tapi di negeri ini, seringkali profesi guru berhenti hanya sebatas transfer ilmu ke murid. Padahal, yang lebih penting adalah ekosistem sehat di antara para pendidik.
Penutup
Mungkin sudah waktunya kita berhenti menganggap ruang guru sebagai tempat yang sakral. Karena faktanya, di banyak sekolah, ruang itu jadi arena kecil penuh sindirian dan geng-gengan. Dan kalau terus dibiarkan, murid akan melihat guru bukan lagi sebagai teladan, melainkan aktor dengan dua wajah: pendidik di kelas, perundung di balik meja.
Dan bukankah itu jauh lebih menakutkan daripada nilai merah di rapor?
Ajakan Refleksi
Tulisan ini bukan sekadar kritik, tapi pengingat. Kalau guru saja masih saling melukai, bagaimana murid bisa belajar tentang menghargai? Mari mulai dari diri sendiri—berhenti jadi bagian dari lingkaran bully kecil itu.
Dan kalau kamu punya cerita serupa, jangan diam. Tulis, bagikan, suarakan. Rayantara ada untuk itu: ruang narasi yang lahir dari luka, tapi bisa jadi obat untuk orang lain.
Penulis: Enzi Arias