Mengulang Sejarah dengan Rasa Berbeda
Siapa sangka, setelah hampir empat tahun kita meninggalkan layar laptop sebagai ruang kelas utama, kini beberapa sekolah harus kembali memutuskan hal yang sama: belajar online. Bukan karena virus mematikan seperti dulu, melainkan karena negeri ini sedang riuh oleh gelombang demonstrasi berkepanjangan.
Apakah ini déjà vu? Atau sekadar tanda bahwa masalah negeri tak hanya soal kesehatan, tapi juga soal kepemimpinan?
Dari Zoom Class hingga Google Meet: Deja Vu Pendidikan
Tahun 2020, kita semua dipaksa terbiasa dengan kelas daring. Ada tawa getir tentang “mic masih mute”, ada cerita kocak soal “kamera mati karena malu”, dan ada tangis diam tentang keterbatasan kuota internet. Saat itu, alasan kita jelas: pandemi. Kita tunduk pada protokol kesehatan demi bertahan hidup.
Hari ini, kelas online kembali digelar. Tapi alasannya berbeda: bukan virus, melainkan negara yang sedang demam sosial. Jalan-jalan dipenuhi massa, gedung parlemen dijaga ketat, dan anak-anak sekolah kembali dihadapkan pada layar — kali ini bukan demi kesehatan, tapi demi keamanan.
Eksekutif dan Legislatif: Membuat Gelombang, Bukan Menenangkan
Ketika rakyat resah, semestinya pemerintah dan DPR tampil sebagai penenang. Namun yang terjadi, justru muncul pernyataan-pernyataan nyeleneh yang memperkeruh keadaan. Warga yang sudah panas, makin menyala. Demonstrasi yang harusnya jadi ruang aspirasi, berubah jadi riuh tanpa kepastian arah.
Dan akibatnya, sekolah — yang seharusnya jadi tempat paling netral — ikut merasakan imbas. Anak-anak kembali belajar dari rumah, bukan karena wabah, tapi karena negeri ini tidak mampu menenangkan dirinya sendiri.
Belajar Online Kali Ini: Sunyi yang Bersuara
Kalau dulu kelas online terasa asing, kini ia datang lagi dengan wajah lain. Ada rasa capek kolektif. Ada pertanyaan reflektif: “Sampai kapan pendidikan kita jadi korban ketidakmampuan negara mengelola masalah?”
Belajar online dulu demi menyelamatkan nyawa. Belajar online sekarang demi menghindari ricuh politik. Sama-sama online, tapi konteksnya membuat rasa yang berbeda: dulu ada takut, kini ada muak.
Harapan dari Balik Layar

Meski begitu, dari balik layar yang kembali hidup, kita bisa belajar: bahwa pendidikan tak boleh kalah oleh situasi. Bahwa siswa dan guru tetap bisa saling bertemu meski lewat piksel. Bahwa keresahan politik harusnya jadi pelajaran tambahan: tentang demokrasi, tentang kepemimpinan, tentang bagaimana negara semestinya hadir.
Karena pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi juga cermin dari keadaan negeri.
Kesimpulan
Belajar online lagi kali ini bukan soal pandemi, tapi soal politik yang belum dewasa. Namun di balik itu, kita percaya: suara muda — siswa, mahasiswa, guru — tetap punya ruang untuk menyuarakan keresahan.
Rayantara percaya, setiap pengalaman punya makna. Jika kamu punya cerita, keresahan, atau pandangan tentang belajar online di tengah negeri yang riuh, kirimkan tulisanmu ke Rayantara. Suara kamu pantas untuk dibaca banyak orang.
Penulis: Rifat Ardan Sany
Sumber gambar: Freepik.com