Home / Sosial / Artikel Ini Harusnya Terbit di Era Covid-19

Artikel Ini Harusnya Terbit di Era Covid-19

Refleksi yang tertunda, bukan untuk mengungkit kelam, tapi merayakan daya tahan kita.

⚠️ Disclaimer

Tulisan ini bukan untuk mengingat kembali masa kelam pandemi Covid-19, melainkan sebagai bukti bahwa kita semua pernah melewati masa krisis—meski terseok-seok—dan tetap berdiri sampai hari ini. Setiap orang punya ceritanya masing-masing, dan cerita ini adalah salah satunya.


Dunia yang Mendadak Berubah

Awal 2020, dunia seakan berhenti. Pandemi Covid-19 mengubah segalanya: masker menjadi bagian dari identitas harian, sirine ambulans menjadi latar suara kota, dan sentuhan yang dulu hangat berubah menjadi ancaman. Lockdown, isolasi, dan berita buruk menjadi rutinitas.

Semua orang memasuki mode bertahan hidup. Namun di tengah perubahan itu, ada cerita-cerita yang tak pernah terbit—bukan karena tak penting, tapi karena waktu itu rasanya terlalu berat untuk dibicarakan.


Kenapa Tulisan Ini Tak Pernah Terbit Saat Itu?

Saya sudah terbiasa menulis sejak SMA. Blog pribadi saya, meski sederhana di Blogspot, sudah jadi tempat menyimpan keresahan, mimpi, dan refleksi sejak 2015. Di sana, saya menulis tentang hal-hal kecil yang terasa besar, tentang perjalanan, tentang harapan, dan tentang hidup yang kadang tak bisa ditebak.

Tapi ketika pandemi Covid-19 datang, kata-kata justru menghilang. Bukan karena kehabisan waktu—justru waktu terasa melimpah. Hari-hari terasa panjang, sunyi, dan penuh ruang kosong. Tapi saya tidak bisa menulis. Karena saat itu, apa yang ingin saya tulis terasa terlalu mentah. Terlalu dekat. Terlalu menyakitkan.

Saya mengalami pemutusan hubungan kerja. Tiba-tiba, penghasilan berhenti. Tapi tagihan tetap datang: cicilan, kebutuhan rumah, biaya kuliah. Rasanya seperti berdiri di tengah hujan deras tanpa payung, sambil mencoba menahan angin dengan tangan kosong.

Orang tua saya sakit di luar pulau. Saya ingin pulang, ingin menemani, ingin ada di sisi mereka. Tapi pembatasan perjalanan membuat jarak terasa seperti tembok. Saya hanya bisa menelepon, mendengar suara yang lemah dari seberang, dan berharap semuanya baik-baik saja. Padahal saya tahu, tidak.

Kuliah full online. Bukan cuma soal sinyal atau kuota, tapi soal kehilangan ruang belajar yang sebenarnya. Saya duduk di depan layar, mengikuti kelas, tapi tidak benar-benar paham. Materi lewat begitu saja, dan saya merasa semakin jauh dari dunia yang dulu saya cintai.

Rencana usaha kecil-kecilan yang sudah saya siapkan sejak semester akhir pun gagal total. Saya ingin mencoba berdagang Starling—Starbucks keliling—dengan modal seadanya. Sudah beli bahan, sudah siapkan branding, bahkan gerobak khusus untuk motor sudah dirakit. Saya dan keluarga benar-benar berharap ini bisa jadi jalan keluar. Bukan untuk kaya, tapi setidaknya untuk bertahan.

Tapi pandemi membuat semuanya berhenti. Saya tidak bisa keluar rumah, tidak bisa jualan, tidak bisa menjalankan apa pun. Gerobak itu akhirnya hanya terparkir di rumah, membangkai pelan-pelan. Uang yang sudah dikeluarkan habis. Tabungan keluarga ikut terkuras. Dan pada akhirnya, kami terpaksa menjual laptop, menjual gerobak itu dengan harga murah—jauh di bawah modal—hanya agar bisa tetap hidup.

Rasanya seperti menonton mimpi yang sudah dirakit dengan susah payah, hancur pelan-pelan tanpa bisa diselamatkan. Saya tidak tahu harus marah ke siapa. Tidak tahu harus menyalahkan apa.

Yang saya tahu, saya diam. Padahal, mungkin saat itu justru saya paling butuh menulis.


Ilustrasi era pandemi Covid-19 berakhir
Sumber gambar: Freepik.com

Kenapa Baru Sekarang Bisa Ditulis?

Namun pada akhirnya, semua berhasil terlewati. Pelan-pelan, satu per satu, meski tidak selalu dengan cara yang saya harapkan. Ada bantuan yang datang diam-diam, ada pintu yang terbuka tanpa saya ketuk. Tuhan memang punya cara-Nya sendiri untuk membantu umat-Nya—cara yang kadang tak bisa kita pahami, tapi terasa nyata saat kita menoleh ke belakang.

Saya tidak tahu persis kapan titik baliknya. Tapi saya tahu, saya masih di sini. Masih bisa menulis. Masih bisa bercerita. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk memulai lagi.

Jarak waktu memberi ruang refleksi. Kini, kita bisa menoleh ke belakang dengan hati yang lebih siap. Masyarakat pun lebih terbuka menerima cerita dari masa Covid-19, bukan untuk kembali larut di dalamnya, tetapi untuk mengingat bahwa kita pernah bertahan.

Tulisan ini harusnya terbit di puncak pandemi, tetapi mungkin, justru sekaranglah waktunya—saat kita bisa mengapresiasi daya juang yang pernah kita lakukan.


💬 Ajakan untuk Menulis dan Mengingat

Kalau kamu punya cerita, refleksi, atau pengalaman dari masa pandemi—yang dulu kamu simpan rapat-rapat—cobalah untuk menuliskannya. Bukan untuk membuka luka, tetapi untuk merayakan ketangguhanmu. Kirimkan tulisanmu ke Rayantara. Karena setiap suara layak didengar, dan setiap perjalanan layak dikenang.

Klik di sini!

Penulis: Rifat Ardan Sany

Sumber gambar: Freepik.com

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *