Home / Opini / Tidur: Pelarian Halus yang Kita Pura-Pura Sebut Istirahat

Tidur: Pelarian Halus yang Kita Pura-Pura Sebut Istirahat

rayantara.com – Tangerang, 10 Agustus 2025 – Tidur sering kita anggap sebagai aktivitas sederhana—pejamkan mata, hilang sejenak, lalu bangun dengan energi baru. Secara ilmiah, tidur memang krusial: ia memulihkan sel, menyeimbangkan hormon, dan menjaga fungsi otak. Menurut National Sleep Foundation, tidur yang cukup adalah salah satu pilar kesehatan utama, setara dengan pola makan bergizi dan olahraga teratur.

Namun di balik fakta biologis ini, ada sisi lain yang jarang dibahas: tidur kadang menjadi pelarian halus dari kenyataan.


Tidur Sebagai Pelarian

Tidak semua tidur terjadi karena tubuh lelah. Seringkali, alasan sebenarnya lebih dekat ke kondisi mental: rasa penat, kewalahan, atau bahkan ingin menghindar dari masalah. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai avoidance coping—strategi untuk menghindari tekanan dengan mengalihkan diri pada aktivitas lain.

Yang membuat tidur berbeda adalah reputasinya. Tidur siang tiga jam jarang dianggap “buang waktu” oleh orang lain. Sebaliknya, orang mungkin memandangnya sebagai tanda bahwa kita butuh istirahat. Padahal, tak jarang di baliknya ada keinginan untuk menjeda dunia walau hanya sebentar.


Hubungan Tidur dan Stres: Fakta Ilmiah

Data dari National Sleep Foundation (Sleep in America® Poll 2022) menunjukkan hubungan yang kuat antara stres dan kualitas tidur:

  • Orang dengan tingkat stres rendah cenderung memiliki kualitas tidur yang lebih baik.
  • Stres tinggi sering menyebabkan tidur lebih singkat, lebih gelisah, dan rasa kantuk berlebih di siang hari.
  • Kualitas tidur yang buruk bisa memperburuk stres, menciptakan siklus negatif yang sulit diputus.

Fenomena ini juga terlihat di Jepang melalui praktik “inemuri” (tidur singkat di tempat umum). Meski resmi dianggap sebagai tanda kerja keras, sebagian orang menggunakannya sebagai cara untuk cabut sebentar dari dunia tanpa benar-benar pergi.


Apakah Tidur Demi Kabur Itu Salah?

Jawabannya bergantung pada konteks. Jika tidur menjadi satu-satunya respons terhadap masalah, itu tanda pola coping yang tidak sehat. Namun, jika digunakan sebagai jeda strategis untuk memulihkan energi mental, tidur bisa menjadi alat bertahan hidup yang bermanfaat.

Kuncinya adalah kesadaran: tahu kapan tidur membantu, dan kapan ia justru menjadi penghalang untuk menghadapi realitas.


Kesimpulan

Tidur adalah kebutuhan biologis yang tak tergantikan, tapi juga bisa menjadi ruang aman sementara untuk bersembunyi dari dunia. Memahami hubungan antara tidur, stres, dan kesehatan mental membantu kita memanfaatkannya secara bijak—bukan sekadar sebagai pelarian, tapi sebagai bagian dari perawatan diri yang utuh.

Jadi, lain kali ketika kamu memilih untuk memejamkan mata lebih lama, tanyakan pada dirimu: ini istirahat… atau jeda dari dunia? Keduanya sah—asal kamu tahu bedanya.

Penulis : Muhammad Nur Imam

Sumber : The Stress-sleep Connection

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *