Home / Opini / Mengapa Game Bisa Menipu Otak Kita? Ini Penjelasan Ilmiahnya!

Mengapa Game Bisa Menipu Otak Kita? Ini Penjelasan Ilmiahnya!

Ilustrasi Player Game

Rayantara.comTangerang Selatan, 8 Agustus 2025 – – Pernahkah kamu merasa seperti masih “bermain” meskipun game yang kamu mainkan sudah selesai? Atau melihat bayangan musuh saat kamu menutup mata setelah berjam-jam bermain game FPS? Fenomena ini bukan sekadar perasaan. permainan bisa memengaruhi persepsi otak kita secara signifikan, bahkan menciptakan ilusi atau kesalahan penafsiran realitas. Tapi kenapa ini bisa terjadi?

Game dan Cara Otak Menerima Realitas

Otak kita adalah mesin prediktif—ia tidak hanya merekam, tetapi juga memperkirakan apa yang akan terjadi berdasarkan pola dan pengalaman. Dalam permainan, kita dilatih untuk mengenali pola secara cepat: musuh muncul dari sudut kanan, hadiah ada di jalur kiri, dan sebagainya. Pola ini lama-lama menjadi otomatis, bahkan terbawa ke dunia nyata.

Fenomena ini dikenal sebagai “Game Transfer Phenomena” (GTP). Penelitian dari Frontiers in Psychology menunjukkan bahwa player bisa mengalami distorsi persepsi, seperti mendengar suara game saat sedang tidak bermain atau merasa objek di dunia nyata seperti puzzle yang harus dipecahkan.

Ilusi Persepsi dan Respons Otak

Game memicu aktivitas tinggi di korteks visual dan motorik, dua bagian otak yang sangat aktif saat kita bereaksi terhadap lingkungan. Dalam permainan aksi cepat seperti Call of Duty, otak dipaksa bereaksi dalam hitungan milidetik. Akibatnya, otak menjadi lebih responsif, tetapi juga lebih rentan terhadap kesalahan persepsi karena terlalu mengandalkan asumsi cepat.

Dalam meta-analisis besar yang dimuat di Technology, Mind, and Behavior (2023), ditemukan bahwa pemain video game aksi menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuan visual dan kognitif dibanding non-gamer. Namun, peningkatan kecepatan pemrosesan ini juga bisa membuat otak mereka terlalu cepat menyimpulkan sesuatu—menyebabkan persepsi keliru terhadap rangsangan di dunia nyata.

Ketika Dunia Nyata Terasa Seperti Game

Ilustrasi seorang anak bermain game virtual reality
Sumber : Freepik.com

Salah satu efek menarik lainnya dari bermain adalah perasaan “realitas seperti game.” Banyak player merasa bahwa dunia nyata menjadi “kurang nyata” atau “terlalu lambat” setelah bermain intens dalam game dengan grafis tinggi dan gameplay cepat. Ini disebut sebagai efek depersonalization ringan—di mana batas antara realitas digital dan realitas fisik menjadi kabur.

Baca Juga : Disturbing phenomenon of game transfer: When video games spill into reality

Contoh Kasus: Ketika Otak “Bertindak” Tanpa Stimulus

Kamu pernah merasa tombol kontrol masih ada di tangan padahal kamu sudah jauh dari konsol? Atau ingin menekan “Ctrl+Z” saat melakukan kesalahan di dunia nyata? Itu adalah bentuk dari persepsi refleksif—otak membentuk shortcut respons berdasarkan kebiasaan, dan kadang-kadang, refleks itu muncul tanpa pemicu nyata.

Risiko Jika Dibiarkan: Perlu Keseimbangan

Meski efek ini menarik secara ilmiah, ada risiko yang perlu diperhatikan. Persepsi yang terus-menerus dipengaruhi game dapat menyebabkan gangguan fokus, peningkatan kecemasan, atau bahkan disosiasi ringan jika tidak diimbangi dengan aktivitas dunia nyata.

Karena itu, penting untuk mengatur waktu bermain, mengenali tanda-tanda tubuh dan mental lelah, serta melakukan aktivitas nyata seperti olahraga ringan atau ngobrol langsung dengan teman.


Kesimpulan: Otak Kita Adaptif, Tapi Juga Rentan

Game adalah medium yang luar biasa. Ia bisa melatih refleks, logika, dan kreativitas. Tapi saat intensitasnya terlalu tinggi, otak mulai mencampuradukkan dunia nyata dan digital. Jadi, bukan game yang salah, melainkan cara kita menyeimbangkannya.

Penulis : Muhammad Nur Imam

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *